1.
Kepemilikan
A.
Pengertian kepemilikan
Kata milkiyah berasal dari
kata milk yang artinya adalah milik atau punya.
‘’suatu kekhususan yang menghalangi yang lain
menurut syara’ yang membenarkan si pemilikn yaitu bertindak terhadap barang miliknya
sekehendaknya kecuali ada penghalang”
Oleh sebab itu setiap muslim dianjurkan agar senantiasa bersahad
dan bekerja dengan cara yang halal. Agar
apa yang dimiliknya juga halal dan tidak bertentangan dengan tuntunan agama.
Rasuluallah saw.
bersabda menyerukan umatnya agar selalu memperoleh sesat dengan cara yang halal .
Sesuai sabda nabi
Muhammad saw:
“Sesunguhnya allah senang
melihat hambanya yang berusaha di jalan yang halal.”
Hadis tersebut di atas diriwayatkan
oleh tabrani. Rasuluallah juga menjelaskan bahwa usaha yang baik adalah yang dilakukan dengan tangan
sendiri dan berjualan dengan jujur. Beliau juga menjelaskan bahwa dalam upaya mendapatkan
atau memiliki sesuatu itu harus dengan jalan yang halal. Sebab sesuatu yang
halal itu sudah jelas. Begitu juga yang haram
dan syubhat.
B.
Macam macam kepemilikan
Dalam
pengertian umum , hak dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1. Hak
Mal, yaitu sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda atau
uang.
2. Hak
ghairu mal, yaitu penguasaan terhadap sesuatu yang tidak berkaitan dengan
harta. Hak ghairu mal terbagi atas dua, yaitu:
·
Hak syakhshi yaitu sesuatu tuntutan yang
ditetapkan syara’ bagi seseorang yang wajib dipenuhi oleh orang lain.
·
Hak ‘aini yaitu hak orang dewasa dengan
bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini terbagi menjadi dua macam,
yaitu :
(a) Hak
‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shabub al‑haq seperti
hak milkiah dan hak irtifa
(b) Hak
‘aini thabi’i ialah jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang mengutangkan
uangnya atas yang berutang.
Dilihat
dari sudut cara memperolehnya atau sebab memilikinya, kepemilikan dalam islam
terbagi ke dalam dua macam, yaitu sebagai berikut :
¨ Al
milkut tammu atau kepemilikan sempurna. Maksudnya, kepemilikan seseorang atas
sesuatu secara penuh. Tidak ada pihak lain yang turut serta memiliki barang
tersebut secara hukum. Misalnya kepemilikan atas barang yang sudah dibeli, atas
benda dari hibah seseorang, atau dari sedekah atau sebagainya. Dan pemiliknya
boleh melakukan tindakan apapun pada barang tersebut.
¨ Al
milku gairut tammi atau kepemilikan tidak sempurna.maksudnya,kepemilikan
seseorang tidak secara penuh atas sesuatu karena pada saat yang sama sesuatu
itu juga dimiliki oleh oranng lain. Misalnya,memiliki barang
gadaian,sewaan,saham bersama,dan sebagainya. Jadi pemiliknya tidak boleh
melakukan tindakan apapun sebelum meminta izin kepada pemilik yang lain.
Dilihat
dari segi tempatnya , milik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
¨ Milk
al-‘ain atau milk al-raqabah, yaitu memiliki semua benda, baik benda tak
bergerak maupun benda yang bisa
dipindahkan
¨ Milk
al-manfa’ah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaat saja dari suatu benda,
seperti meminjam, wakaf dan lain lain.
¨ Milk
al-dayn, yaitu pemilikan karena adanya utang.
Dari
segi shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki) dibagi menjadi dua :
¨ Milk
al-mutamayyiz, yaitu sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki
batasan-batasan, yang dapat memisahkannya dari yang lain.
¨ Milk
al-sya’i yaitu milik yang berpautan dengan sesuatu yang relative dari kumpulan
sesuatu , Bagaimana pun besar atau kecilnya kumpulan itu.
C.
Sebab-sebab kepemilikan dalam islam
Seseorang dapat memiliki
sesuatu benda atau barang. Jika melakukan halal yang menjadi penyebabnya, sehingga kepemilikan dapat
beralih dari satu pihak kepada pihak lain, atau dari satu pihak menjadi milik bersama.
Diantara hal tersebut di atas yang
menyebabkan kepemilikan adalah sebagai berikut.
1. Kepemilikan yang sempurna, disebabkan oleh:
1.
Jual beli
2.
Sadaqah
3.
Hibah
4.
Hadiah
5.
Infaq
6.
Waqaf
7.
Waris yang telah dibagikan
8.
Luqatah (penemuan)
9.
Gasbu (hartarampasan)
10. Ihyaulmawat (tanah hasil
membuka hutan)
2. Kepemilikan
yang tidak sempurna
1. Hutang
piutang
2. Syirkah
3. Qirad
4. Hiwalah
5. Rihanah
6. Ariyah
7. Wadi’ah
8. Muzara’ah
9. Musaqah
10. Mukhabarah
Tetapi hal tersebut di atas telah dihapuskan oleh islam karena hal tersebut
berlaku pada masa jahiliyah, akan tetapi telah ditetapkan oleh syara’ dan empat
sebab diantaranya:
1. Ihrazul
mubahat, yaitu memiliki sesuatu yang boleh dimiliki atau menempatkan
sesuatu yang boleh dimiliki di suatu tempat
untuk dimiliki
2. Al
u’qud (aqad)
3. Al
khalafiyah (perwarisan)
4. Attawalludul
minal mamluk (berkembangbiak)
Jadi sebab-sebab kepemilikan yang
diakui oleh syara’ adalah sebab-sebab yang tersebut di atas.
D.
Hikmah kepemilikan dalam islam
a. Manusia
tidak boleh sembarangan untuk memiliki sesuatu tanpa melihat aturan yang berlaku.
b. Manusia
akan berusaha dengan benar untuk dapat memiliki sesuatu .
c. Membentengimanusiauntukdapatmemilikisesuatudenganjalan
yang tidak benar.
d. Terpeliharanya
keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan.
e. Terciptanya
situasi masyarakat yang saling mengisi dan saling membutuhkan.
f. Terbentuknya
sikap saling menghormati dan menghargai antara sesame mansuia.
Akan tetapi ada juga
hikma-hikmah yang didapatkan oleh manusia pada masa jahiliyah , diantaranya adalah:
a. Membuat
manusia saling berlomba dalam mencari rezeki dari Allah swt.
b. Terpenuhinya
rasa keadilan dan keberadaan umat manusia.
c. Meningkatkan
motivasi untuk senantiasa rajin bekerja dan berusaha dalam memiliki sesuatu.
Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah
swt., agama islam sangat menghargai hak asasi
manusia tidak seperti agama lainnya, setiap hukum-hukum islam memiliki hikmah-hikmah
yang indah diantara hokum-hukumnya tersebut. Jadi bersyukurlah kita umat
islam yang akan selalu terpenuhi dengan hikmah-hikmah
dalam ketentuan ketentuan syara’ dan
hukum-hukum islam.
E. Ihrazul Mubahat
1. Pengertian ihrazul mubahat
Ihrazul mubahat artinya menjaga dan mubahat artinya hal-hal
yang di bolehkan. secara istilah ikhrazul mubahat adalah memelihara diri agar
senantiasa melakukan hal-hal yang di bolehkan oleh Allah S.W.T,terutama dalam
hal muamalah. Contoh ihrazul mubahat
adalah ketika berdagang tidak mengurangi timbangn, takaran dan penipuan.
1. Syarat Ihrazul Mubahat
Syarat untuk terpenuhinya
ihrazul mubahat adalah sebagai berikut :
Ø Sesuatu
itu bukan milik sah dari orang lain. Oleh karena itu, tidak termasuk ihrazul
mubahat contohnya, jika mengambil burung
dara jantan milik orang lain dengan cara memikatnya dengan burung dara betina
miliknya.
Ø Ada
kesengajaan upaya yang dibenarkan untuk memilikinya seperti contoh di atas.
Jika ada layang-layang menyangkut di atas pohon miliknya, maka tidak secara
otomatis layang-layang tersebut menjadi miliknya.
F.Khalafiyah
Khalafiyah
adalah pewaris atau kata lain khalafiyah adalah “Bertempatnya seseorang atau
sesuatu yang baru di tempat yang lama yang telah hilang dalam bebagi macam
hak-hak”. Khalafiyah ada dua macam yaitu :
a) Khalafiyah Syakhsyun ’an syakhsyin(شَخْشٌ عَنْ شَخْشٍ) (seseorang terhadap seseorang) adalah kepemilikan suatu harta dari harta
yang ditinggalkan oleh pewarisnya, sebatas memiliki harta bukan mewarisi hutang
si pewaris. Misalnya Ali menggantikan kedudukan ayahnya, sehingga seluruh
hak-hak ayahnya berpindah kepada Ali, termasuk hak kepemilikan. Khalafiyah
seperti ini juga disebut khalafiyah irs (waris), karena umumnya, terjadi pada
waris, yaitu hak kepemilikan harta yang semula atas pewaris lalu di gantikan
oleh ahli waris.
b) Khalafiyah
syai’un ‘an syai’in (شَيْءٌ عَنْ شَيْءٍ) (sesuatu terhadap sesuatu)
Adalah kewajiban seseorang untuk mengganti harta / barang milik orang lain
yang dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari barang tersebut.
Misalnya, seseorang meminjamkan suatu barang setelah dikembalikan kedapanya,
ternyata ada bagian dari barang itu tidak ada. Maka dibenarkan untuk meminta
bagian yang tidak ada itu, karena memang menjadi hak miliknya. Khalafiyah
seperti ini juga disebut khalafiyah ta’wid (menjamin kerugian).
G. Ihya’u Mawat Al-Ardh
·
Ihya’u Mawat
Al-Ardh menurut bahasa adalah menghidupkan tanah yang mati. Sedangkan menurut
istilah, Ihya’u Mawat Al-Ardh adalah membuka lahan baru yang belum dikerjakan
atau belum dimiliki orang lain, agar tanah yang baru dibuka itu berstatus hukum
miliknya. Yang dimaksud lahan baru di sini adalah tanah yang masih dalam bentuk
hutan, lahan gambut, dan sebagainya, yang belum ada pemiliknya dan belum
dimanfaatkan untuk keperluan pertanian, perkebunan, atau tempat tinggal.
·
Hukum membuka
lahan baru adalah jaiz(boleh), dan sebagai jerih payahnya maka ia diberi hak
untuk memilikinya. Jika usaha membuka lahan baru itu disertai dengan niat baik,
untuk kesejahteraan diri dan umat manusia, maka mendapat pahala. Landasan hokum
membuka lahan baru sebagaimana hadits Nabi saw. yang artinya “Dari said bin
Zaid dari nabi saw. bersabda: ‘Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati,
maka tanah itu menjadi miliknya. Orang yang menggarap tanah milik orang lain
maka tidak mempunyai hak (untuk memilikinya)’.”(HR.Abu Dawud, Nasa’I dan
Tirmidzi)
·
Ihya’ul Mawat
dan transmigrasi
Transmigrasi
adalah perpindahan penduduk dari daerah (pulau) yang sudah padat penduduknya ke
daerah (pulau) yang masih kosong penduduknya. Misalnya perpindahan penduduk
dari pulau jawa ke Kalimantan, perpindahan semacam ini dimaksudkan untuk meratakan
penduduk, juga untuk menciptakan kesejahteraan para transmigran.
Biasanya, dalam
pelaksanaan transmigrasi dibarengi dengan upaya membuka lahan baru dengan
ukuran luas tanah yang berbeda-beda. Tindakan ini sangat positif asal diimbangi
dengan fasilitas yang memadai.
Para
transmigrasi yang membuka lahan baru akan mendapatkan pahala, karena telah
menghidupkan bumi Allah. Sebaliknya, membuka lahan yang sudah dimiliki oleh
orang lain dan diklaimnya sebagai tanah miliknya, itu termasuk zalim.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Barang siapa yang mengambil tanah sejengkal dengan zalim, maka tanah itu akan dikalungkannya kelak di hari kiamat tujuh bumi”(HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Barang siapa yang mengambil tanah sejengkal dengan zalim, maka tanah itu akan dikalungkannya kelak di hari kiamat tujuh bumi”(HR. Bukhari dan Muslim)
·
Ada beberpa hal
yang perlu diperhatikan oleh pihak yang membuka lahan baru:
a.
Tanah yang
digarap itu hanya terbatas untuk mencukupi keperluan. Jika lebih dari itu,
harus diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan
b.
Penggarap
bersungguh-sungguh dan sanggup mengelola tanah baru tersebut
c.
Pembukaan tanah
haru dengan izin pemerintah (imam)
Demikian pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Tetapi
sebagian fuqaha berpandangan bahwa izin pemerintah tidak diperlukan.
2.
AQAD
A.
Pengertian Aqad
Aqad (transaksi) boleh
dikatakan terjadi dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan muamalata. Aqad
sendiri berasal dari bahasa arab yaitu al-‘Aqd jamaknya al-‘Uqud menurut bahasa
mengandung arti al-Rabtb, al-Rabtb berarti ikatan, mengikat.
Menurut Mustafa al-Zarqa’ dalam kitabnya al-Madhkal al-Fiqh al’Amm, bahwa yang
dimaksud al-Rabtb yang dikutip
oleh Ghufron A. Mas’adi yakni; “Menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi
seperti seutas tali yang satu”
Selanjutnya akad menurut bahasa juga mengandung
arti al-Rabthu wa al syaddu
yakni ikatan yang bersifat indrawi (hissi)
seperti mengikat sesuatu dengan tali atau ikatan yang bersifat ma’nawi
seperti ikatan dalam jual beli.
Dari berbagai sumber bahwa pengertian akad
menurut bahasa intinya sama yakni aqad secara bahasa adalah
pertalian antara dua ujung sesuatu.
Adapun pengertian aqad menurut istilah yakni
terdapat definisi banyak beragam diantaranya;
Definisi yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar yang dikutip oleh Nasrun
Haroen. Definisi aqad yakni : Pertalian ijab dan qabul penerimaan sesuai
dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.
Definisi yang dikemukakan oleh Wahbah al Juhailli
dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa
adillatuh yang dikutip oleh Rachmat Syafei. Yang terjemahannya adalah
sebagai berikut: “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun
ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Definisi yang dikemukakan oleh ‘Abdul Rahman bin ‘Aid dalam karya ilmiahnya
‘Aqad al-Maqawalah yakni:
Pertalian ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat pada segi yang tampak
dan berdampak pada obyeknya.
dan
definisi yang dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy definisi aqad ialah;
“perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang
menetapkan keridlaan kedua belah pihak.”
Dari definisi-definisi akad tersebut di atas
dapat diketahui bahwa akad tersebut meliputi subyek atau pihak-pihak, obyek dan
ijab qabul.
B. Rukun dan Syarat Aqad
Rukun aqad ada empat dengan
syarat-syaratnya masing-masing, yaitu:
1.
Aqid ialah orang yang berakal,
terkadang masing-masing pihak terdiri satu orang atau beberapa orang. Seseorang
yang berakad orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang merupakan wakil
dari yang memiliki haq. Dengan syarat :
a.
Baligh
b.
Berakal
c.
Kedua belah pihak cakap berbuat
d.
Atas kehendaknya sendiri (tidak dipaksa)
2. Ma’qud alaih ialah benda-benda yang
diaqadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam aqad jual beli, dalam aqad
hibah(pemberian), dalam aqad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam aqad
kafalah. Dengan syarat :
a.
Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan.
b. Barang
tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan.
c.
Bukan barang yang terlarang oleh syara’
d. Barang
yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan.
e. Harus
diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan
barang-barang yang dijual langsung
3.
Maudhu’ al’aqd ialah tujuan
atau maksud pokok mengadakan aqad. Berbeda aqad, maka berbedalah tujuan pokok
aqad. Dalam aqad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari
penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan aqad hibah ialah memindahkan
barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (iwadh). Tujuan pokok aqad ijarah
adalah memberi manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok i’arah adalah memberi manfaat dari
seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.
4.
Shighat al’aqd ialah ijab dan
qabul, ijab (ungkapan penyerahan barang) ialah permulaan penjelasan yang keluar
dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendak dalam mengadakan
akad, sedangkan qabul (penerimaan) ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad
pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Dalam ijab dan qabul harus memenuhi
syarat:
a.
Harus terang pengertiannya menurut ‘uruf (kebiasaan)
b.
Harus sesuai antara ijab dan qabul. Misalnya kalau si penjual sesuatu dengan
harga Rp.10.000,- kemudian si pembeli menjawab Rp.5.000,- maka aqad itu tidak
sah, karena tidak adanya persesuaian antara keduanya.
c.
Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan (tidak main-main
dan tidak ragu-ragu).
Ijab
Qabul akan dinyatakan batal apabila :
a.
Pejual menarik kembail ucapannya sebelum terdapat qabul dari si pemberi
b.
Adanya penolakan ijab dari si pembeli
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua belah
pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab
dan qabul dianggap batal.
d.
Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah-nya seebelum terjadi kesepakatan.
e.
Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qabul atau kesepakatan.
C. Macam-macam Sigat Aqad
Sigat
aqad terbagi pada beberapa macam, yaitu:
1.
Aqad lisan, yaitu bentuk transaksi dengan menggunakan pengucapan lisan secara
langsung.
2. Aqad tulisan, yaitu aqad yang
dilakukan dalam bentuk tulisan. Aqad ini dipakai jika transaksi mengharuskan
bukti fisik berupa perjanjian tertulis sebagai langkah pengamanan. Misalnya,
transaksi perbankan, transaksi asuransi, perjanjian kerjasama untuk berbisnis,
dan lain-lain. Untuk transaksi bentuk ini, biasanya memakai kertas bermaterai
sebagai tanda berkekuatan hukum. Bentuk transaksi ini bisa terkait dengan
tingginya nilai barang (misalnya sejumlah uang, emas, atau barang berharga
lainnya) atau karena terkait masa depan, misalnya menitipkan harta untuk
anaknya yang masih kecil agar diberikan kepadanya nanti ketika sudah dewasa.
3. Aqad utusan, yaitu bentuk aqad
di mana pihak-pihak yang bertransaksi menganggap cukup dengan menghadirkan
untusan masing-masing. Aqad utusan ini sah jika masing-masing utusan dapat
membuktikan keabsahan dirinya sebagai utusan dan diterima sebagai utusan pihak
lain.
4. Aqad isyarat, yaitu bentuk aqad
dengan isyarat tertentu. Bentuk aqad ini sah jika pihak-pihak yang bertransaksi
dapat saling menerima dan menganggap cukup. Tentu saja isyarat yang dipakai
sangat tergantung pada kebiasaan atau tradisi yang ada. Misalnya, cukup dengan
acungan tangan, kedipan mata, atau anggukan kepala, dan lain-lain. Aqad isyarat
ini biasanya dipakai untuk transaksi pada persoalan-persoalan kecil.
D. Macam-macam Aqad
Diantara macam-macam aqad adalah :
1. Dilihat dari segi ditetapkan atau
tidaknya oleh syara’:
a. Aqad musamma, aqad
yang telah ditetapkan oleh syara’ dan
diberi hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijarah, syirkah, dan
lain-lain.
b. Aqad ghair musamma,
aqad yang belum ditetapkan istilah, hukum dan namanya oleh syara’.
2. Dilihat dari segi
disyari’atkannya atau tidak:
a. Aqad musyara’ah,
aqad yang dibenarkan oleh syara’, seperti jual beli, hibah, gadai dan
lain-lain.
b. Aqad mamnu’ah, aqad
yang dilarang oleh syara’, seperti menjual anak binatang yang masih dalam
kandungan.
3. Dilihat dari segi
sah tidaknya aqad:
a. Aqad shahibah, aqad
yang cukup syarat-syaratnya. Misalnya menjual sesuatu dengan harga sekian kalau
kontan dan sekian kalau hutang.
b. Aqad fasidah, aqad
yang cacat/tidak sempurna. Misalnya menjual sesuatu dengan harga yang
ditentukan tapi pembayarannya ditangguhkan.
4. Dilihat dari segi
sifat bendanya:
a. Aqad ‘ainiyah, yang
disyaratkan untuk kesempurnaannya menyerahkan barang-barang yang dilakukan aqad
terhadapnya. Misalnya benda yang diserahkan dalam jual beli.
b. Aqad ghairu
‘ainiyah, aqad yang hanya semata-mata aqad, tidak disertakan barang yang
diaqadkan.
5. Dilihat dari bentuk
atau cara melakukannya:
a. Aqad yang harus
dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi. Seperti pernikahan.
b. Aqad ridhaiyah, aqad
yang tidak memerlukan upacara tertentu.
6. Dilihat dari segi
tukar-menukar hak:
a. Aqad mu’awadhah,
aqad yang berlaku atas timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan
lain-lain.
b. Aqad tabarru’at,
aqad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah, dan ijarah.
c. Aqad yang mengandung
tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi mu’awadhah pada akhirnya, seperti qaradh
dan kafalah.
7. Dilihat dari harus
atau tidaknya dibayar ganti:
a. Aqad dhaman, barang:
tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-barang itu diterimanya, seperti, jual
beli, qishmah, qaradh.
b. Aqad amanah,
tanggung jawab dipegang oleh yang memegang barang, yaitu: ida’, syirkah,
wakalah, dan washayah.
c. Aqad yang
dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dhaman, dari
segi yang lain merupakan amanah, yaitu: ijarah, rahn, shulhu ‘am bi manfaa’ah.
8. Dilihat dari segi
tujuan aqad:
a. Yang tujuannya
tamlik, seperti bai’ mudharabah.
b. Yang tujuannya
mengkokohkan saja, seperti rahn, dan kafalah.
c. Yang tujuannya
menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah, washayah.
d. Yang tujuannya
pemeliharaan, yaitu: aqdul ‘ida.
9. Dari segi segera
berlakunya aqad dan terus menurus atau tidak:
a. Aqad fauriyah, aqad
yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, seperti jual beli.
b. Aqad mustamirrah,
aqad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi
pelaksanaannya, seperti ijarah, i’arah, wakalah, dan syarikah.
10. Dilihat dari
ashliyah dan tabi’iyah:
a. Aqad ashliyah, aqad
yang berdiri sendiri, yaitu jual beli, ijarah, ida’, i’arah.
b. Aqad tabi’iyah, aqad
yang berpautan wujudnya pada adanya sesuatu yang lain, seperti rahn dan
kafalah.
E.
Hikmah Aqad
Ada beberapa hikmah
dengan disyariatkannya aqad dalam muammalah, yaitu:
1. Munculnya
pertanggung jawaban moral dan material.
2. Timbulnya rasa
ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
3. Terhindarnya
perselisihan dari kedua belah pihak.
4. Terhindar dari
pemilikan harta secara tidak sah.
5. Status kepemilikan
terhadap harta menjadi jelas.
6. Adanya ikatan yang
kuat di antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memilih sesuatu.
7. Tidak bisa
sembarangan dalam membatalkan sesuatu ikatan perjanjian, karena telah diatur
oleh syar’i
8. Aqad merupakan
“payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak bisa
menggugat atau memilikinya
Daftar Pustaka
Muslih, Muhammad,
Fiqih, yudhistira, 2006
Suparta, Mundzier, Pendidikan agama islam fiqih,
semarang, PT karya toha putra, 2008
http://detik-ilmu.blogspot.com/2012/01/jual-beli-menurut-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar