Jumat, 06 September 2013

Kepemilikan dalam islam


1. Kepemilikan
A. Pengertian kepemilikan
Kata milkiyah berasal dari kata milk yang artinya adalah milik atau punya.
 ‘’suatu kekhususan yang menghalangi yang lain menurut syara’ yang membenarkan si pemilikn yaitu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya kecuali ada penghalang”
Oleh sebab itu  setiap muslim dianjurkan agar senantiasa bersahad dan bekerja dengan cara yang halal. Agar  apa yang dimiliknya juga halal dan tidak bertentangan dengan tuntunan  agama.
Rasuluallah saw. bersabda menyerukan umatnya agar selalu memperoleh sesat dengan cara  yang halal .
Sesuai sabda nabi Muhammad saw:
“Sesunguhnya allah senang melihat hambanya yang berusaha di jalan yang halal.”
Hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh tabrani. Rasuluallah juga menjelaskan bahwa usaha  yang baik adalah yang dilakukan dengan tangan sendiri dan berjualan dengan jujur. Beliau juga menjelaskan bahwa dalam upaya mendapatkan atau memiliki sesuatu itu harus dengan jalan yang halal. Sebab sesuatu yang halal itu sudah jelas. Begitu juga yang haram  dan syubhat.

B.  Macam macam kepemilikan
Dalam pengertian umum , hak dapat dibagi menjadi dua  bagian, yaitu :
1.      Hak Mal, yaitu sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda atau uang.
2.      Hak ghairu mal, yaitu penguasaan terhadap sesuatu yang tidak berkaitan dengan harta. Hak ghairu mal terbagi atas dua, yaitu:
·         Hak syakhshi yaitu sesuatu tuntutan yang ditetapkan syara’ bagi seseorang yang wajib dipenuhi oleh orang lain.
·         Hak ‘aini yaitu hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Hak ‘aini terbagi menjadi dua macam, yaitu :
(a)    Hak ‘aini ashli ialah adanya wujud benda tertentu dan adanya shabub al‑haq seperti hak milkiah dan hak irtifa
(b)   Hak ‘aini thabi’i ialah jaminan yang ditetapkan untuk seseorang yang mengutangkan uangnya atas yang berutang.
Dilihat dari sudut cara memperolehnya atau sebab memilikinya, kepemilikan dalam islam terbagi ke dalam dua macam, yaitu sebagai berikut :
¨      Al milkut tammu atau kepemilikan sempurna. Maksudnya, kepemilikan seseorang atas sesuatu secara penuh. Tidak ada pihak lain yang turut serta memiliki barang tersebut secara hukum. Misalnya kepemilikan atas barang yang sudah dibeli, atas benda dari hibah seseorang, atau dari sedekah atau sebagainya. Dan pemiliknya boleh melakukan tindakan apapun pada barang tersebut.
¨      Al milku gairut tammi atau kepemilikan tidak sempurna.maksudnya,kepemilikan seseorang tidak secara penuh atas sesuatu karena pada saat yang sama sesuatu itu juga dimiliki oleh oranng lain. Misalnya,memiliki barang gadaian,sewaan,saham bersama,dan sebagainya. Jadi pemiliknya tidak boleh melakukan tindakan apapun sebelum meminta izin kepada pemilik yang lain.
Dilihat dari segi tempatnya , milik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
¨      Milk al-‘ain atau milk al-raqabah, yaitu memiliki semua benda, baik benda tak bergerak  maupun benda yang bisa dipindahkan
¨      Milk al-manfa’ah, yaitu seseorang yang hanya memiliki manfaat saja dari suatu benda, seperti meminjam, wakaf dan lain lain.
¨      Milk al-dayn, yaitu pemilikan karena adanya utang.
Dari segi shurah (cara berpautan milik dengan yang dimiliki) dibagi menjadi dua :
¨      Milk al-mutamayyiz, yaitu sesuatu yang berpautan dengan yang lain, yang memiliki batasan-batasan, yang dapat memisahkannya dari yang lain.
¨      Milk al-sya’i yaitu milik yang berpautan dengan sesuatu yang relative dari kumpulan sesuatu , Bagaimana pun besar atau kecilnya kumpulan itu.
C. Sebab-sebab kepemilikan dalam islam

Seseorang dapat memiliki sesuatu benda atau barang. Jika melakukan halal yang  menjadi penyebabnya, sehingga kepemilikan dapat beralih dari satu pihak kepada pihak lain, atau dari satu pihak menjadi milik bersama. Diantara hal tersebut di atas yang  menyebabkan kepemilikan adalah sebagai berikut.
1. Kepemilikan yang sempurna, disebabkan oleh:

1. Jual beli
2. Sadaqah
3. Hibah
4. Hadiah
5. Infaq
6. Waqaf
7. Waris yang telah dibagikan
8. Luqatah (penemuan)
9. Gasbu (hartarampasan)
10. Ihyaulmawat (tanah hasil membuka hutan)

2. Kepemilikan  yang  tidak sempurna

1.   Hutang piutang
2.   Syirkah
3.   Qirad
4.   Hiwalah
5.   Rihanah
6.   Ariyah
7.   Wadi’ah
8.   Muzara’ah
9.   Musaqah
10. Mukhabarah

Tetapi hal tersebut di  atas telah dihapuskan oleh islam karena hal tersebut berlaku pada masa jahiliyah, akan tetapi telah ditetapkan oleh syara’ dan empat sebab diantaranya:

1.   Ihrazul mubahat, yaitu memiliki sesuatu yang boleh dimiliki atau menempatkan sesuatu  yang boleh dimiliki di suatu tempat untuk dimiliki
2.   Al u’qud (aqad)
3.   Al khalafiyah (perwarisan)
4.   Attawalludul minal mamluk (berkembangbiak)
Jadi sebab-sebab kepemilikan yang diakui oleh syara’ adalah sebab-sebab yang tersebut di  atas.

D. Hikmah kepemilikan dalam islam

a.    Manusia tidak boleh sembarangan untuk memiliki sesuatu tanpa melihat aturan yang  berlaku.
b.   Manusia akan berusaha dengan benar untuk dapat memiliki sesuatu .
c.    Membentengimanusiauntukdapatmemilikisesuatudenganjalan yang tidak benar.
d.   Terpeliharanya keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan.
e.    Terciptanya situasi masyarakat yang saling mengisi dan saling membutuhkan.
f.    Terbentuknya sikap saling menghormati dan menghargai antara sesame mansuia.
Akan tetapi ada juga hikma-hikmah yang didapatkan oleh manusia pada masa jahiliyah ,  diantaranya adalah:
a.    Membuat manusia saling berlomba dalam mencari rezeki dari Allah swt.
b.   Terpenuhinya rasa keadilan dan keberadaan umat manusia.
c.    Meningkatkan motivasi untuk senantiasa rajin bekerja dan berusaha dalam memiliki sesuatu.

Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah swt., agama  islam sangat menghargai hak asasi manusia tidak seperti agama lainnya, setiap hukum-hukum islam memiliki hikmah-hikmah yang indah diantara hokum-hukumnya tersebut. Jadi bersyukurlah kita umat islam  yang akan selalu terpenuhi dengan hikmah-hikmah dalam ketentuan ketentuan syara’  dan hukum-hukum islam.
E. Ihrazul Mubahat
1. Pengertian ihrazul mubahat
Ihrazul mubahat artinya menjaga dan mubahat artinya hal-hal yang di bolehkan. secara istilah ikhrazul mubahat adalah memelihara diri agar senantiasa melakukan hal-hal yang di bolehkan oleh Allah S.W.T,terutama dalam hal muamalah. Contoh  ihrazul mubahat adalah ketika berdagang tidak mengurangi timbangn, takaran dan penipuan.
1.  Syarat Ihrazul Mubahat
 Syarat untuk terpenuhinya ihrazul mubahat adalah sebagai berikut :
Ø  Sesuatu itu bukan milik sah dari orang lain. Oleh karena itu, tidak termasuk ihrazul mubahat contohnya,  jika mengambil burung dara jantan milik orang lain dengan cara memikatnya dengan burung dara betina miliknya.
Ø  Ada kesengajaan upaya yang dibenarkan untuk memilikinya seperti contoh di atas. Jika ada layang-layang menyangkut di atas pohon miliknya, maka tidak secara otomatis layang-layang tersebut menjadi miliknya.

F.Khalafiyah

Khalafiyah adalah pewaris atau kata lain khalafiyah adalah “Bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru di tempat yang lama yang telah hilang dalam bebagi macam hak-hak”. Khalafiyah ada dua macam yaitu :
a)      Khalafiyah Syakhsyun ’an syakhsyin(شَخْشٌ عَنْ شَخْشٍ) (seseorang terhadap seseorang)     adalah kepemilikan suatu harta dari harta yang ditinggalkan oleh pewarisnya, sebatas memiliki harta bukan mewarisi hutang si pewaris. Misalnya Ali menggantikan kedudukan ayahnya, sehingga seluruh hak-hak ayahnya berpindah kepada Ali, termasuk hak kepemilikan. Khalafiyah seperti ini juga disebut khalafiyah irs (waris), karena umumnya, terjadi pada waris, yaitu hak kepemilikan harta yang semula atas pewaris lalu di gantikan oleh ahli waris.

b)      Khalafiyah syai’un ‘an syai’in  (شَيْءٌ عَنْ شَيْءٍ) (sesuatu terhadap sesuatu)
Adalah kewajiban seseorang untuk mengganti harta / barang milik orang lain yang dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari barang tersebut. Misalnya, seseorang meminjamkan suatu barang setelah dikembalikan kedapanya, ternyata ada bagian dari barang itu tidak ada. Maka dibenarkan untuk meminta bagian yang tidak ada itu, karena memang menjadi hak miliknya. Khalafiyah seperti ini juga disebut khalafiyah ta’wid (menjamin kerugian).

G. Ihya’u Mawat Al-Ardh
·      Ihya’u Mawat Al-Ardh menurut bahasa adalah menghidupkan tanah yang mati. Sedangkan menurut istilah, Ihya’u Mawat Al-Ardh adalah membuka lahan baru yang belum dikerjakan atau belum dimiliki orang lain, agar tanah yang baru dibuka itu berstatus hukum miliknya. Yang dimaksud lahan baru di sini adalah tanah yang masih dalam bentuk hutan, lahan gambut, dan sebagainya, yang belum ada pemiliknya dan belum dimanfaatkan untuk keperluan pertanian, perkebunan, atau tempat tinggal.

·      Hukum membuka lahan baru adalah jaiz(boleh), dan sebagai jerih payahnya maka ia diberi hak untuk memilikinya. Jika usaha membuka lahan baru itu disertai dengan niat baik, untuk kesejahteraan diri dan umat manusia, maka mendapat pahala. Landasan hokum membuka lahan baru sebagaimana hadits Nabi saw. yang artinya “Dari said bin Zaid dari nabi saw. bersabda: ‘Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Orang yang menggarap tanah milik orang lain maka tidak mempunyai hak (untuk memilikinya)’.”(HR.Abu Dawud, Nasa’I dan Tirmidzi)

·      Ihya’ul Mawat dan transmigrasi
Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah (pulau) yang sudah padat penduduknya ke daerah (pulau) yang masih kosong penduduknya. Misalnya perpindahan penduduk dari pulau jawa ke Kalimantan, perpindahan semacam ini dimaksudkan untuk meratakan penduduk, juga untuk menciptakan kesejahteraan para transmigran.
Biasanya, dalam pelaksanaan transmigrasi dibarengi dengan upaya membuka lahan baru dengan ukuran luas tanah yang berbeda-beda. Tindakan ini sangat positif asal diimbangi dengan fasilitas yang memadai.

Para transmigrasi yang membuka lahan baru akan mendapatkan pahala, karena telah menghidupkan bumi Allah. Sebaliknya, membuka lahan yang sudah dimiliki oleh orang lain dan diklaimnya sebagai tanah miliknya, itu termasuk zalim.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Barang siapa yang mengambil tanah sejengkal dengan zalim, maka tanah itu akan dikalungkannya kelak di hari kiamat tujuh bumi”(HR. Bukhari dan Muslim)

·      Ada beberpa hal yang perlu diperhatikan oleh pihak yang membuka lahan baru:
a.    Tanah yang digarap itu hanya terbatas untuk mencukupi keperluan. Jika lebih dari itu, harus diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan
b.   Penggarap bersungguh-sungguh dan sanggup mengelola tanah baru tersebut
c.    Pembukaan tanah haru dengan izin pemerintah (imam)
Demikian pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Tetapi sebagian fuqaha berpandangan bahwa izin pemerintah tidak diperlukan.
2. AQAD

A. Pengertian Aqad

Aqad (transaksi) boleh dikatakan terjadi dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan muamalata. Aqad sendiri berasal dari bahasa arab yaitu al-‘Aqd jamaknya al-‘Uqud menurut bahasa mengandung arti al-Rabtb, al-Rabtb berarti ikatan, mengikat.
Menurut Mustafa al-Zarqa’ dalam kitabnya al-Madhkal al-Fiqh al’Amm, bahwa yang dimaksud al-Rabtb yang dikutip oleh Ghufron A. Mas’adi yakni; “Menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu”
Selanjutnya akad menurut bahasa juga mengandung arti al-Rabthu wa al syaddu yakni ikatan yang bersifat indrawi (hissi) seperti mengikat sesuatu dengan tali atau ikatan yang bersifat ma’nawi seperti ikatan dalam jual beli.
Dari berbagai sumber bahwa pengertian akad menurut bahasa intinya sama yakni aqad secara bahasa adalah pertalian antara dua ujung sesuatu.

Adapun pengertian aqad menurut istilah yakni terdapat definisi banyak beragam diantaranya;
Definisi yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar yang dikutip oleh Nasrun Haroen. Definisi aqad yakni : Pertalian ijab dan qabul penerimaan sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.
Definisi yang dikemukakan oleh Wahbah al Juhailli dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutip oleh Rachmat Syafei. Yang terjemahannya adalah sebagai berikut: “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”
Definisi yang dikemukakan oleh ‘Abdul Rahman bin ‘Aid dalam karya ilmiahnya ‘Aqad al-Maqawalah yakni: Pertalian ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat pada segi yang tampak dan berdampak pada obyeknya.
dan definisi yang dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy definisi aqad ialah; “perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan kedua belah pihak.”
Dari definisi-definisi akad tersebut di atas dapat diketahui bahwa akad tersebut meliputi subyek atau pihak-pihak, obyek dan ijab qabul.

B. Rukun dan Syarat Aqad

Rukun aqad ada empat dengan syarat-syaratnya masing-masing, yaitu:

1. Aqid ialah orang yang berakal, terkadang masing-masing pihak terdiri satu orang atau beberapa orang. Seseorang yang berakad orang yang memiliki haq (aqid ashli) dan terkadang merupakan wakil dari yang memiliki haq. Dengan syarat :

a. Baligh
b. Berakal
c. Kedua belah pihak cakap berbuat
d. Atas kehendaknya sendiri (tidak dipaksa)

2. Ma’qud alaih ialah benda-benda yang diaqadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam aqad jual beli, dalam aqad hibah(pemberian), dalam aqad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam aqad kafalah. Dengan syarat :
a. Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan.
b. Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan.
c. Bukan barang yang terlarang oleh syara’
d. Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan.
e. Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual langsung

3. Maudhu’ al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan aqad. Berbeda aqad, maka berbedalah tujuan pokok aqad. Dalam aqad jual beli tujuan pokoknya ialah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan aqad hibah ialah memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (iwadh). Tujuan pokok aqad ijarah adalah memberi manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok i’arah adalah memberi manfaat dari seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.

4.  Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab (ungkapan penyerahan barang) ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendak dalam mengadakan akad, sedangkan qabul (penerimaan) ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Dalam ijab dan qabul harus memenuhi syarat:
a. Harus terang pengertiannya menurut ‘uruf (kebiasaan)
b. Harus sesuai antara ijab dan qabul. Misalnya kalau si penjual sesuatu dengan harga Rp.10.000,- kemudian si pembeli menjawab Rp.5.000,- maka aqad itu tidak sah, karena tidak adanya persesuaian antara keduanya.
c. Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan (tidak main-main dan tidak ragu-ragu).
Ijab Qabul akan dinyatakan batal apabila :
a. Pejual menarik kembail ucapannya sebelum terdapat qabul dari si pemberi
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli
c.  Berakhirnya majlis akad. Jika kedua belah pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qabul dianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah-nya seebelum terjadi kesepakatan.
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qabul atau kesepakatan.

C. Macam-macam Sigat Aqad
Sigat aqad terbagi pada beberapa macam, yaitu:
1. Aqad lisan, yaitu bentuk transaksi dengan menggunakan pengucapan lisan secara langsung.
2. Aqad tulisan, yaitu aqad yang dilakukan dalam bentuk tulisan. Aqad ini dipakai jika transaksi mengharuskan bukti fisik berupa perjanjian tertulis sebagai langkah pengamanan. Misalnya, transaksi perbankan, transaksi asuransi, perjanjian kerjasama untuk berbisnis, dan lain-lain. Untuk transaksi bentuk ini, biasanya memakai kertas bermaterai sebagai tanda berkekuatan hukum. Bentuk transaksi ini bisa terkait dengan tingginya nilai barang (misalnya sejumlah uang, emas, atau barang berharga lainnya) atau karena terkait masa depan, misalnya menitipkan harta untuk anaknya yang masih kecil agar diberikan kepadanya nanti ketika sudah dewasa.
3. Aqad utusan, yaitu bentuk aqad di mana pihak-pihak yang bertransaksi menganggap cukup dengan menghadirkan untusan masing-masing. Aqad utusan ini sah jika masing-masing utusan dapat membuktikan keabsahan dirinya sebagai utusan dan diterima sebagai utusan pihak lain.
4. Aqad isyarat, yaitu bentuk aqad dengan isyarat tertentu. Bentuk aqad ini sah jika pihak-pihak yang bertransaksi dapat saling menerima dan menganggap cukup. Tentu saja isyarat yang dipakai sangat tergantung pada kebiasaan atau tradisi yang ada. Misalnya, cukup dengan acungan tangan, kedipan mata, atau anggukan kepala, dan lain-lain. Aqad isyarat ini biasanya dipakai untuk transaksi pada persoalan-persoalan kecil.

D. Macam-macam Aqad
Diantara macam-macam aqad adalah :

1. Dilihat dari segi ditetapkan atau tidaknya oleh syara’:
a. Aqad musamma, aqad yang telah ditetapkan oleh syara’ dan  diberi hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, ijarah, syirkah, dan lain-lain.
b. Aqad ghair musamma, aqad yang belum ditetapkan istilah, hukum dan namanya oleh syara’.
2. Dilihat dari segi disyari’atkannya atau tidak:
a. Aqad musyara’ah, aqad yang dibenarkan oleh syara’, seperti jual beli, hibah, gadai dan lain-lain.
b. Aqad mamnu’ah, aqad yang dilarang oleh syara’, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan.

3. Dilihat dari segi sah tidaknya aqad:
a. Aqad shahibah, aqad yang cukup syarat-syaratnya. Misalnya menjual sesuatu dengan harga sekian kalau kontan dan sekian kalau hutang.
b. Aqad fasidah, aqad yang cacat/tidak sempurna. Misalnya menjual sesuatu dengan harga yang ditentukan tapi pembayarannya ditangguhkan.

4. Dilihat dari segi sifat bendanya:
a. Aqad ‘ainiyah, yang disyaratkan untuk kesempurnaannya menyerahkan barang-barang yang dilakukan aqad terhadapnya. Misalnya benda yang diserahkan dalam jual beli.
b. Aqad ghairu ‘ainiyah, aqad yang hanya semata-mata aqad, tidak disertakan barang yang diaqadkan.

5. Dilihat dari bentuk atau cara melakukannya:
a. Aqad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu, yaitu ada saksi. Seperti pernikahan.
b. Aqad ridhaiyah, aqad yang tidak memerlukan upacara tertentu.

6. Dilihat dari segi tukar-menukar hak:
a. Aqad mu’awadhah, aqad yang berlaku atas timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain.
b. Aqad tabarru’at, aqad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah, dan ijarah.
c. Aqad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi mu’awadhah pada akhirnya, seperti qaradh dan kafalah.

7. Dilihat dari harus atau tidaknya dibayar ganti:
a. Aqad dhaman, barang: tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-barang itu diterimanya, seperti, jual beli, qishmah, qaradh.
b. Aqad amanah, tanggung jawab dipegang oleh yang memegang barang, yaitu: ida’, syirkah, wakalah, dan washayah.
c. Aqad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dhaman, dari segi yang lain merupakan amanah, yaitu: ijarah, rahn, shulhu ‘am bi manfaa’ah.
8. Dilihat dari segi tujuan aqad:
a. Yang tujuannya tamlik, seperti bai’ mudharabah.
b. Yang tujuannya mengkokohkan saja, seperti rahn, dan kafalah.
c. Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah, washayah.
d. Yang tujuannya pemeliharaan, yaitu: aqdul ‘ida.

9. Dari segi segera berlakunya aqad dan terus menurus atau tidak:
a. Aqad fauriyah, aqad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama, seperti jual beli.
b. Aqad mustamirrah, aqad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi pelaksanaannya, seperti ijarah, i’arah, wakalah, dan syarikah.

10. Dilihat dari ashliyah dan tabi’iyah:
a. Aqad ashliyah, aqad yang berdiri sendiri, yaitu jual beli, ijarah, ida’, i’arah.
b. Aqad tabi’iyah, aqad yang berpautan wujudnya pada adanya sesuatu yang lain, seperti rahn dan kafalah.

E. Hikmah Aqad
Ada beberapa hikmah dengan disyariatkannya aqad dalam muammalah, yaitu:
1. Munculnya pertanggung jawaban moral dan material.
2. Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
3. Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak.
4. Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.
5. Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas.
6. Adanya ikatan yang kuat di antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memilih sesuatu.
7. Tidak bisa sembarangan dalam membatalkan sesuatu ikatan perjanjian, karena telah diatur oleh syar’i
8. Aqad merupakan “payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak bisa menggugat atau memilikinya

Daftar Pustaka
Muslih, Muhammad,  Fiqih, yudhistira, 2006
Suparta, Mundzier, Pendidikan agama islam fiqih, semarang, PT karya toha putra, 2008
http://detik-ilmu.blogspot.com/2012/01/jual-beli-menurut-islam.html




Tidak ada komentar:

Posting Komentar